https://profheshamsalaheldin.com/ Di tengah ketidakpastian ekonomi global, konsumen tampaknya harus bersiap menghadapi potensi kenaikan harga gadget dan perangkat elektronik. Hal ini dipicu oleh kebijakan yang dikenal sebagai “tarif Trump”. Ini merupakan perintah eksekutif dari Presiden AS Donald Trump berupa persentase pajak yang dikenakan terhadap nilai suatu barang yang diimpor dari negara lain ke AS. China menjadi target dengan tarif Trump yang tinggi, mencapai 145 persen per 14 April. Ini menjadi kabar buruk bagi perusahaan elektronik global, mengingat China merupakan salah satu negara pusat yang memproduksi berbagai macam komponen gadget dan laptop serta merakit smartphone dan PC. Meski ada pengecualian tarif impor untuk sejumlah produk elektronik dari China selama 90 hari ke depan, analis menilai hal tersebut belum menjamin stabilitas harga di pasar global, termasuk Indonesia. Untuk di Indonesia, situasi ini disebut diperparah dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dollar AS.
Dinamika Kebijakan Tarif Trump
Dalam dua pekan terakhir, kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjadi pusat perhatian karena menciptakan gejolak baru di pasar global. Kebijakan ini secara khusus menandai eskalasi terbaru dalam perang dagang antara AS dan China. Trump pertama kali mengumumkan kebijakan tarif impor terbaru pada 2 April 2025. Saat itu, China dikenai tarif tambahan sebesar 34 persen, di luar pajak impor 20 persen yang telah lebih dulu diterapkan, sehingga total beban tarif terhadap barang impor dari China menjadi 54 persen. Selain China, beberapa negara lain juga terkena imbas kebijakan ini. Misalnya, Korea Selatan dikenai tarif sebesar 25 persen, Jepang 24 persen, Vietnam 46 persen, India 27 persen, dan Indonesia 32 persen. Yang menarik, respons China berbeda dari negara-negara lain yang cenderung membuka ruang negosiasi. Pada 4 April, China justru memilih untuk membalas kebijakan Trump dengan memberlakukan tarif balasan sebesar 34 persen untuk produk impor asal AS, yang berlaku mulai 10 April. Merespons langkah balasan tersebut, pada 7 April Trump mengancam menaikkan tarif hingga 50 persen tambahan jika China tidak mencabut kebijakan balasan tersebut. Ancaman ini kemudian diwujudkan, dan pada 9 April, total beban tarif terhadap produk China yang masuk ke AS melonjak hingga 104 persen. Pada hari yang sama, China tak tinggal diam dan kembali menaikkan tarif impor untuk produk asal AS hingga 84 persen. Trump pun langsung merespons dengan kenaikan tarif lanjutan, menjadikan total beban tarif untuk produk China mencapai 145 persen. Meskipun agresif terhadap China, Trump juga mengumumkan kebijakan yang sedikit lebih lunak terhadap negara-negara lain. Masih pada 9 April, Trump menyatakan bahwa tarif impor untuk sebagian besar negara akan ditangguhkan selama 90 hari. Selama masa tenggang tersebut, hanya tarif sebesar 10 persen yang akan dikenakan sebagai bentuk “tarif timbal balik”. Namun, kebijakan ini tidak berlaku bagi China, yang tetap dikenai tarif penuh sebesar 145 persen. China pun kembali merespons dengan memberlakukan tarif impor balasan sebesar 125 persen untuk produk-produk asal AS.
Dampak Tarif Trump yang Tinggi untuk China
Tarif yang tinggi ini diyakini bakal berdampak pada perusahaan elektronik yang bergantung pada rantai pasokan global (terutama China), seperti Apple, misalnya.
Berdasarkan laporan Evercore ISI, melansir dari CNBC, 80 persen produksi Apple bergantung pada China. Khusus iPhone, 85-90 persen produksinya mengandalkan fasilitas di China serta menggunakan komponen yang bersumber dari berbagai negara seperti kamera dari Jepang, prosesor dari Taiwan, layar dari Korea Selatan, dan memori dari Amerika Serikat. Apple juga menggandeng beberapa mitra manufaktur besar yang kebanyakan berbasis di Taiwan, seperti Foxconn, Pegatron, Wistron, dan Compal Electronics. Vendor-vendor tersebut memiliki beberapa fasilitas perakitan, di mana kebanyakan berada di China. Ada pula beberapa fasilitas yang tersebar di Brasil dan India. Foxconn misalnya, diketahui memiliki fasilitas perakitan produk Apple di Kota Zhengzhou dan Shenzen yang sering disebut sebagai “Kota iPhone”, dilansir KompasTekno dari SCW Mag. Fasilitas itu mempekerjakan ratusan ribu pekerja yang mampu memproduksi jutaan perangkat dalam waktu singkat dan kualitas yang unggul dibanding negara lain.
Saat memasarkan produknya, Apple berarti harus membayar tarif impor hingga 145 persen saat membawa iPhone hasil rakitan di China ke negara asalnya. Ini akan menekan biaya produksi iPhone ke angka yang lebih tinggi, yang pada akhirnya juga diyakini akan membuat harga eceran iPhone lebih mahal di AS. Beberapa orang di kabinet Trump ini juga sempat mengusulkan agar Apple memproduksi iPhone langsung di dalam negeri (AS), agar perusahaan asal Cupertino ini tak perlu membayar tarif Trump. Namun, analis dari perusahaan riset dan investasi Wedbush Securities, Dan Ives berpendapat, melakukan hal itu akan memakan waktu bertahun-tahun dan menyebabkan harga iPhone meroket. Menurut perkiraan Wedbush, butuh waktu 3 tahun dan 30 miliar dollar AS untuk memindahkan bahkan hanya 10 persen dari rantai pasokan Apple dari Asia ke AS dengan gangguan besar dalam prosesnya. “Kalau konsumen ingin iPhone seharga 3.500 dollar AS (sekitar Rp 56 juta), silakan buat di New Jersey atau Texas,” tulis Ives dalam catatan investor pada tanggal 3 April.
Kabar Baik untuk Gadget (Namun Sementara)
Kabar baiknya, per 11 April, Trump membebaskan barang-barang seperti ponsel pintar, laptop, hard drive, monitor layar datar, beberapa cip, hingga mesin yang memproduksi semikonduktor, dibebaskan dari beban pajak impor, termasuk yang diimpor dari China. Alhasil, ponsel pintar, laptop, dan lain-lain tidak akan dibebankan pajak 145 persen yang diberlakukan untuk negara China saat ini, ataupun tarif dasar 10 persen dari negara lain. Namun, produk-produk elektronik di atas masih akan dikenakan tarif 20 persen yang sudah diberlakukan per awal tahun 2025. Pelonggaran ini tidak serta-merta menenangkan pasar. Setidaknya begitulah menurut analis Kiranjeet Kaur selaku Direktur Riset Asosiasi, Riset Perangkat di firma riset global International Data Corporation (IDC) untuk wilayah Asia-Pasifik. “Ada ketidakpastian besar tentang bagaimana tarif ini akan berubah dalam waktu dekat, dan bagaimana masing-masing negara meresponsnya,” ujar Kaur melalui keterangan tertulis kepada KompasTekno. Industri smartphone, semikonduktor, dan perangkat keras lainnya juga masih berada dalam radar investigasi keamanan nasional pemerintah AS. Artinya, meskipun ada jeda, industri-industri tersebut belum bisa bernapas lega.
Efek Domino ke Indonesia: Kurs Jadi Masalah Lebih Nyata
Menurut data Investing.com, rupiah berada pada level Rp 16.000 saat awal memasuki 2025.
Namun, dalam lebih dari tiga bulan terakhir, rupiah terus melemah terhadap dollar AS, bahkan sempat menyentuh Rp 17.171 per Senin (7/4/2025) menurut kontrak rupiah NonDeliverable Forward (NDF) yang diperdagangkan di bursa offshore. Pantauan KompasTekno, kini, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS saat berita ini ditulis pada Selasa (15/4/2025) siang, adalah sekitar Rp 16.800 per 1 dollar AS. Dengan tekanan dari sisi tarif dan nilai tukar, konsumen di Indonesia mungkin akan semakin berhati-hati dalam melakukan pembelian. Kaur memperkirakan bahwa banyak konsumen akan menunda pembelian atau berpindah ke perangkat yang lebih terjangkau jika harga naik signifikan.
“Jika harga naik, akan ada pengaruh terhadap sentimen konsumen. Mereka bisa lebih konservatif dalam berbelanja,” kata IDC. Di sisi lain, perusahaan teknologi berada dalam posisi dilematis. Jika mereka tidak ingin kehilangan pasar, mereka mungkin harus menyerap sebagian beban biaya tambahan. Namun jika tidak, kenaikan harga tak terhindarkan.
Dalam kondisi seperti ini, IDC menyarankan konsumen yang berencana membeli perangkat elektronik untuk mempertimbangkan membeli lebih awal sebelum potensi kenaikan harga benar-benar terjadi.
“Probabilitas harga naik lebih besar daripada turun, kecuali perusahaan memilih untuk menyerap kenaikan biaya. Tapi itu tidak bisa dijamin,” lanjut Kaur. KompasTekno melihat hal ini sudah terjadi pada Apple Fanboy di Indonesia baru-baru ini. Pada saat penjualan perdana iPhone 16 series pada 11 April lalu, beberapa konsumen menyebut faktor ekonomi global sebagai pertimbangan utama untuk tetap membeli iPhone 16 series walau telat 7 bulan masuk ke Tanah Air.
Mereka khawatir harga iPhone 17 akan melonjak akibat kebijakan tarif impor Amerika Serikat terhadap produk China. Misalnya seperti Sheila, pengguna iPhone asal Gading Serpong, awalnya berniat menunggu iPhone 17. Namun, ia berubah pikiran karena adanya potensi kenaikan harga. “Jadi saya putuskan beli iPhone 16 Pro Max sekarang,” kata Sheila. Desvia, pembeli iPhone 16 Pro, menambahkan bahwa ketidakpastian masuknya iPhone 17 ke Indonesia juga menjadi pertimbangannya. “iPhone 16 kemarin kan sempat keganjal aturan TKDN. Kita belum tahu juga nasib iPhone 17 nanti. Takutnya malah masuknya tahun depan lagi,” ujar dia.
Indonesia Masih Jadi Pasar, Bukan Produsen Utama
Meski sebagian perangkat dirakit secara lokal, IDC menilai Indonesia belum menjadi pemain utama dalam rantai pasok elektronik global.
“Indonesia mengimpor sebagian besar ponsel dari China dan Vietnam. Ini termasuk perangkat CKD (completely knocked down) atau SKD (semi knocked down) kit yang dirakit di dalam negeri,” kata Kaur. Peluang mungkin muncul dari relokasi manufaktur global keluar dari China, tapi Indonesia masih harus bersaing dengan negara lain yang lebih siap dalam infrastruktur dan kebijakan industri. “Sebagian besar smartphone yang dikonsumsi di Indonesia dirakit di dalam negeri, tapi belum ada kontribusi signifikan untuk ekspor,” jelas Kaur.